Tags
2010, Beswan Djarum, Buku, Jogja, Ngrancah, Perpustakaan, SD
Hai, SD Ngrancah. Sudah lama tak bersua. Dan tak terasa, sudah setahun berlalu sejak terakhir kami ke sana. Membawa kardus-kardus buku bekas maupun baru. Memesan rak-rak buku dan meja kecil. Membeli karpet hijau yang kini menyelimuti ruangan perpustakaan yang ada. Bersama-sama, membuat penomoran buku dari sore sampai lewat tengah malam. Diselingi tawa dan canda, tidur pun bersama di atas tikar di ruang kelas. Belum lagi paginya serasa ikut kembali ke masa sekolah dengan ikut upacara di bawah teriknya sinar mentari. Peluh meleleh, mata memicing karena silau matahari. Maklum, kami kebagian barisan yang menghadap langsung ke timur. Pertemuan kita saat itu diakhiri dengan nonton film bersama dan tawa lebar saat perpisahan.
Kali ini kami kembali padamu. Hanya lima orang dari kami memang: aku, Indri, Adit, Viksi, dan Acil. Menempuh perjalanan dari Kota Yogyakarta menuju Imogiri lewat Jalan Imogiri Barat dan masih meliuk-liuk melewati jalanan desa. Kali ini kami hanya membawa sekardus buku dan berbagai pajangan semacam peta. Tapi, kami harap kami tetap bisa meletakkannya di dalam pelukanmu. Dan melihat lagi binar cerah di mata para malaikat-malaikat kecil yang haus ilmu itu.
Lihat saja foto di atas. Bahkan tema kegiatan kami kala itu, “Baca Bukumu, Raih Cita-Citamu” ditulis besar-besar di dinding perpustakaan. Ah, so nostalgic! Apalagi saat kami sampai di sana, lagi-lagi para malaikat-malaikat kecil itu berebutan menyalami tangan kami yang bahkan belum sempat melepas helm. Segera kami membawa barang bawaan itu ke dalam perpustakaan ditemani Mbak Anik (petugas perpustakaan) dan juga Ibu Kepsek. Di sana, dengan salam penyerahan bantuan seadanya, kami segera membuka berbagai jendela dunia yang macam-macam bentuknya. Ada kamus bahasa Inggris, ada ensiklopedia, ada kawruh basa Jawa, ada novel anak-anak dan cerita rakyat, bahkan ada pula buku panduan psikologi anak dan cara mengajar efektif untuk guru.
Tak berapa lama sejak buku-buku itu dikeluarkan dari kardusnya, bel tanda istirahat berbunyi. Derap sepatu terdengar semakin keras dan semakin dekat. Yak! Benar saja! Para malaikat-malaikat itu mengerumuni perpustakaan. Beberapa dari mereka ingin mengembalikan buku, beberapa hanya mengintip di balik jendela karena kami ada di dalamnya. Lucu! Mereka terlihat sangat sungkan meskipun sangat ingin melihat buku-buku yang teronggok di atas meja. Terlihat bagus, baru, berwarna-warni. Maka langsung saja aku mengambil beberapa buku dan mngiming-imingi mereka dengan cerita-cerita dari bukunya yang menarik. Apalagi kalau bukan untuk mengusir rasa malu mereka kepada kami.
Akhirnya beberapa dari mereka mau masuk ke dalam. Aku mendekati salah satu dari mereka. Berkerudung putih dengan wajah ingin tahu dan sedang mendekati buku yang tak lazim: atlas. Dia terlihat sangat ingin tahu apa yang ada di dalamnya. Segera aku mendekatinya, duduk hati-hati di sampingnya, dan menanyakan namanya. Ah, ternyata kejernihan mata itu milik Arifatul Munawaroh. Biasa dipanggil Muna, katanya. Sudah jelas dia tak mengerti bagaimana cara penggunaan atlas itu. Maka, aku membuka daftar isinya dan bertanya tentang sesuatu yang sudah sangat dia tahu: sekolahnya. “Di mana SD Ngrancah ya? Ayo kita lihaaat,” kataku bersemangat, mungkin lebih bersemangat dari dia. Aku menuntunnya untuk mencari nama provinsinya terlebih dahulu di daftar isi, lalu nama Kabupatennya, Bantul. Lanjut ke nama kecamatannya, Imogiri. Tangannya cekatan menunjuk-nunjuk titik-titik dengan keterangan nama-nama kabupaten dan kecamatan itu. Lalu, saat aku sampai di pertanyaan terakhir, “Jadi di manakah SD Ngrancah?” Dia terlihat kebingungan. Aku pun tergelak, “Tidak bisa kelihatan, sayang.” Dan dia pun tersenyum nyengir.
Begitulah akhirnya pertemuan kami yang harus diakhiri. Serasa buncah melihat anak-anak itu menjadi ceria, antusias pada ilmu yang dikandung buku-buku yang kami bawa. Dari luar terdengar sayup-sayup beberapa anak-anak bermain rebana. Untungnya kami juga membawa buku-buku tentang musik untuk mereka. Beberapa masih membaca buku-buku dengan perhatian penuh. Sayang, buku baru ini belum bisa dipinjam untuk dibawa pulang karena belum diberi nomor buku. Tapi senyuman mereka, binar mata yang semakin cerah saat menemukan sesuatu yang baru, dan derai tawa saat ingin menunjukkan sesuatu yang lucu pada temannya membuat kami pun merasa puas. Ya, itulah rasa terima kasih terbesar yang dapat diberikan mereka pada kakak-kakak Beswan semua, pada Djarum Bakti Pendidikan, dan pada semuanya.
*foto oleh DA, Acil, Viksi, Indri, Adit